ini dia pemiliknya

Rabu, 29 Oktober 2014

Sadar, atau Bencana datang


Namaku Ken Tampan Wicaksana, umurku baru saja memasuki 15 tahun. Aku baru saja masuk SMA, SMA terfavorite dikotaku. Aku tumbuh menjadi laki-laki berperawakan tinggi besar dan sedikit kurus, aku anak tunggal. Aku menjadi salah satu korban dalam kehidupanku.
Pada awalnya kehidupanku sangatlah menarik, penuh warna, dan bahkan setiap yang ku lalui sangat penuh dengan sensasi. Ya hidupmenjadi pewaris tahta tunggal keluarga Tampan. Seorang Pengusaha Batubara yang sukses. Ya itu pekerjaan ayahku, ayah yang menyayangiku.
Ibuku adalah wanita karir yang cukup sukses dibidangnya, beliau sering duduk terpaku saat bekerja dikamarnya. Wanita dengan penghasilan yang tak kalah dengan ayahku. Walaupun beliau masih menerima nafkah dari Ayahku.  Beliau orang yang focus, dan serius pada pekerjaannya. Tak pernah ada satu yang luput dari penglihatannya saat melihat apapun. Wanita bermata Elang.
Barukali ini aku bangun lebih pagi dari semuanya. Ibu tak pernah mau menyewa pembantu karna beliau masih mampu melakukan kewajiban beliau. Aku bangun dan  berjalan, lalu tanganku mulai menyentuh gagang cendela dan kubuka cendela itu. Kuhirup udara yang masih bersih, lalu kututup lagi candela kamarku.  Kini aku tak tau kenapa aku ingin keluar. Kini aku berjalan menuju luar. Kubuka pintu kamarku dengan sangat pelan, ku tak mau mereka terbangun karena suara pintuku.
Tapi…
Saat ku membuka pintu kamarku, kulihat bayak pecahan kaca yang berserakan. Aku mengikuti pecahan kaca itu sampai kemana. Yang aku tau itu berakhir didepan kamar orang tuaku, pelan dan sangat pelan aku membuka pintu kamar mereka. “krek” suara itu sangat keras untukku. Pintu kamar telah terbuka, namun yang kulihat hanyalah ibu yang tidur diatas sofa kamar. Ranjang mereka beratakan, dengan pecahan kaca yang berserakan. Ku ambil selimut lalu kuselimuti ibuku. Lalu ku berjalan menuju cendela kamar mereka.
 Kulihat sekeliling. Terlihat Pagi itu sangat dingin dan gelap, tak ada bunyian apapun yang terdengar. Hawa dingin begitupun terlihat sangat  kasar menyerang tubuh, hingga kerelung batin. Kini aku merasa aneh dengan keluargaku. Aku mulai merasa ada yang berubah dari mereka. Kucoba untuk menghalau semua pikiran itu.
Kini matahari telah terbit. Sinarnya menembus kaca-kaca kamar mereka, dan aku masih berada didalam kamar ayah dan ibu. Kini terlihat jelas bagaimana keadaan kamar mereka. Bantal dan guling, telah terlempar kemana-mana. Semua make up milik ibuku jatuh dan berserakan. Hiasan-hiasan lukisan yang tertempel indah, telah hancur berserakan. Kini kulihat wajah ibuku lebam, biru. Seperti terkena pukulan yang sangat keras.
Tiba-tiba “Brak..”kudengar suara bantingan yang berada didepan, kuberlari, menuju ruang depan dan kini kulihat, pintu rumahku telah terbuka. Dan kulihat sosok laki-laki yang sudah kukenal. Ya itu ayah, tapi aku tak tau harus berbuat apa, ku lihat wajah ayahku yang penuh dengan amarah. Akhirnya ku tak berani untuk bertemu, akhirnya  aku  kembali ke kamar, mungkin itu hal yang terbaik tempat dan paling aman dari amarah ayahku.
Jam telah berganti jam, aku tetap berada dikamarku, aku tak berani keluar kamar, apalagi sekolah. Sekolah kini tak terlalu penting karna semua kekayaan ayahku tak akan habis sampai turunan berapapun, dari aku. Kini kuberanikan diri untuk membuka pintu kamarku yang tadinya terkunci rapat.  “krek..” pintu kamarku telah terbuka. Kini yang selalu ku takuti akhirnya datang juga. Tiba-tiba kulihat semua gelap, hawa dingin mulai menyerang, ketakutan, semua bercampur menjadi satu.
“pyang.. brug..” tiba – tiba suara-suara yang tak kuketahui dari mana asalnya buatku semakin merinding, dan ketakutan tak karuan.
 “dasar wanita tak tau diri, hanya bisa meminta dan meminta, kamu pikir saya kartu kredit. Bisa-bisa saya gila , kamu tau” kata seorang laki-laki dan disusul suara tangisan seorang wanita, yang tak kudengar dengan jelas suara siapa itu. Aku berada disudut kamar, bantal yang kini kurangkul tanpa ikhlas ku melepasnya. Kini kumengalami ketakukan yang yang sangat dahsyat, hingga tak bisa kutahan.
Waktu terus melaju pada relnya, kini semakin membuatku, merasa tertekan olehnya. “ ah, kini aku tak bisa mengendalikan emosi pada diriku, semua barang yang ada didepanku telah hancur, dan bahkan tak tau kemana pergi setiap potongan yang pecah” kini  kumelihat mereka hamper saling membunuh.
“berhenti…” teriakku.
“apa kamu hanya anak kecil yang hanya bisa menghabiskan uangku” bentak ayahku padaku
“sudah jangan bawa dia dalam masalah kita” sahut ibuku yang tak henti menangis.
“kalian hanya sampah, yang hanya bisa menghabiskan setiap keringatku” suara ayahku kini sangat jelas dan sangat –sangat tidak bisa diterima.
“Apa Ayah Bilang, aku sampah, lalu apa ayah?, yang hanya bisa marah, dan tak pernah memberi setetes kasih sayangnya untuk kami, lalu apa gunanya aku memiliki  ayah seperti anda.” Aku tak tau bagaimana rangkaian kata itu bisa keluar dari mulutku.
Plak.. “ pandai sekali kamu bicara, kamu tau siapa yang sedang bicara?. Dasar anak tak tau diri” pukulan ayahku tepat terkena dipipi, dan yang kini kurasakan ada tetesan darah yang mengalir.
“bukan aku yang tak tau diri tapi kalian, yang tak pernah tau bagaimana perasaanku. Aku malu, jika melihat teman-teman yang setiap sore pergi bersama keluarganya sedangkan aku tidak, pernah gak ayah dan ibu pikir hal sekecil itu. Aku yakin kalian gak akan pernah terpikir. “ kini tetesan bening telah keluar dari rumahnya.
Kini ibuku memelukku dan “maaf nak ibu belum bisa memberi itu “
Ayahku hanya terdiam dan pergi keluar rumah, aku tak peduli dengannya.
Kini waktu bergulir begitu cepat, aku tak peduli ku lari menaiki tangga dan  ku hentakkan pintu kamarku. Kini emosiku sudah tak dapat kutahan,seperti ada sosok bayangan hitam yang merasuki tubuhku ini kukeluar kamar dan mencari ayahku dengan tangan yang mengepal. Aku tak peduli dia telah membuatku hancur, sudah habis kesabaranku.
Tapi ibuku menahan tubuhku dan aku tak mungkin tega membuatnya terjatuh setelah lelaki itu, “kemana perginya ayah?” tanyaku, “sudahlah nak tak usah kau pedulikan ayahmu” wajah ibu ku yang membuat aku tak mampu berkutik lagi.
Waktu terus bergulir, dan mulai lebih cepat dari biasanya. Aku merasa terpuruk dan mulai tak bisa mengendalikan semua egoku “arg.. arg.. ah.. persetan dengan ayah dan ibu”, kukirimkan tinjuan pada tembok yang dia sendiripun tak tau apa maksud pukulanku itu. Yang jelas taba-tiba ibu mengetuk pintu kamarku. “ apa kamu tak apa nak?”,”aku tak apa bu” . ibu berlalu tanpa ada kata lain. Lalu ke beranikan diri keluar dari kamar dan menuruni setiap tangga yang menuju keruang keluarga.
Kini aku masih, berada didalam Neraka dunia. Tapi aku tak tau kenapa rumahku yang harus jadi nerakanya, tempat yang dulunya menjadi tempat, kami saling menyayangi satu sama lain. Membunuh waktu yang akan merebut kebahagiaan kita. Tapi kini tempat ini  kembali sepi dan sunyi, kini yang kulihat bayangan saat dulu kami bersama. sudah tak ada pecahan kaca atau apapun itu. Namun waktu, tetap  tak ingin diam . kulihat ibu yang tengah terlelap di sofa ruang keluarga lalu ku menuju dapur. Saat ku sampai didapur.
Tiba-tiba…
Brak.. “bisa-bisanya kamu tidur?” suara bentakkan itu lagi.
“aku hanya merebahkan tubuhku saja, aku tak tidur.” Jawabnya lirih.
“ah banyak alasan. Plak.”
“kamu hanya bisa menampar, tampar saja hingga kau puas” jawab ibuku.
Saat ku tersadar apa yang terjadi kulari dari dapur menuju ruang keluarga.
“apa kalian belum puas, apa yang kalian mau, apa hanya ingin membunuh kehidupan saya.” Bentakku pada ibu dan ayahku. Kini cairan bening ibuku telah mengalir. Wajah ayahku mulai merah padam
“sudah diam, kamu tidak perlu ikut campur !”bentak ayahku dengan tangan yang akan memukulku lagi.
“apa ayah belum puas, menamparku tadi,ha apa yah? Masih belum puas? .” kini tamparan itu sudah mendarat dipipiku.
“jaga perkataanmu, semua karna kamu (sambil tangan yang menunjuk ibuku) kamu yang hanya bisa menuruti apa yang dia mau, kemana ilmu tata kramamu itu, yang selalu dibangga-banggakan oleh  ibumu itu ,ha mana.? Tangkas ayahku untuk ibuku
“udah cukup, kalau ini memang salahku jangan salahkan dia, dia anakmu dan sudahlah kalau itu yang kamu mau lebih baik kita selesai. Jangan pernah bawa ibuku dalam setiap permasalahan.” Jawab ibuku dengan tangisan yang tak pernah lelah untuk mengalir
“oh jadi kamu menantangku, silahkan. Lalu rasakan hidupmu sendiri” jawab ayahku kemudian hilang ditelan bumi.
“ Ken, kamu gak perlu seperti itu, kamu adalah anak yang baik dan ibu gak mau mulutmu menjadi ternoda karna masalah sekecil ini” kata ibuku.
“ini bukan sebuah masalah kecil bu, tapi ibu sudah terlalu sakit, sudah saatnya aku yang bangun dan membantu ibu. “
“ sudah Ken cukup Ibu gak mau kamu yang terluka” tanpa aku peduli semua kata ibu aku lari kekamar.
Dan tak tau mengapa aku ketakutan seperti ada seseorang yang selalu memutar kejadian saat ayahku akan melempar pisau itu .  AH….. teriahku dan kini semua cermin yang ada dikamarku telah bercecer dan tertancap indah ditanganku. Rasa sakitnya tak terasa . yang hanya adalah rasa benci pada lelaki itu.
Namun sesuatu terjadi..
Kring telfon rumah berbunyi dengan sigap ibu mengangkat gagang telepon.  “ selamat sore, bisa bicara dengan ibu Tampan, kami dari rumah sakit daerah. Ingin mengabarkan bahwa bapak Tampan, kecelakaan, dan beliau sudah berada di UGD mohon ibu segera datang dan mengurus semuanya. Terimakasih. “
Ibu menutup gagang telpon lalu menangis sejadi-jadinya. “ kenapa bu ?” “ayahmu nak masuk rumah sakit. Tolong antarkan ibu ke rumah sakit nak “  pinta ibu “iya, ayo bu sekarang” aku dan ibu beranjak, dengan sigap ku ambil kunci motorku. Kunyalakan motorku dan mulai melakukan perjalanan. Ibu tetap menangis, dan memelukku. Sesampainya disana ibu langsung berlari memasuki area UGD sedangkan aku sedang sibuk mengurusi Parkir sepedaku.
Dari dalam UGD ibu menagis sejadi-jadinya tiba-tiba tak sengaja ku dengar ayahku berkata “ maaf saya belum bisa menjadi suami yang baik, dan tolong katakana pada ken, aku sangat menyayanginya, dan maaf atas semua perlakuan ku padanya. Kini aku telah lelah, izinkan aku untuk tidur dalam kenangan yang indah.” Setelah kata terakhir ayah katakana ibu berteriak, semua dokter yang ada sedang berkumpul dan aku masih berdiri didepan UGD, tak kusangka air bening itu kini telah menetes dipipi.  *k24

sorry guys bersambung ...